Dalam artikel sebelumnya saya sudah mencoba memaparkan penolakan adam dan hawa adalah manusia pertama yang didasarkan atas ayat-ayat kitab suci abrahamik sendiri dan mengajukan argumen bahwa manusia pertama adalah manu yang tidak hanya berjumlah satu, tetapi empat belas dalam setiap satu kali siklus penciptaan alam semesta ini.
Adapun dasar utama penolakan adam dan hawa sebagai manusia pertama disamping dari ayat-ayat kitab sucinya, juga dari segi kejanggalan-kejanggalan dipandang secara ilmiah. Sudah bukan rahasia lagi bahwasanya umat agama abrahamik (Islam, Kristen dan Yahudi) meyakini Adam adalah manusia pertama dan merupakan leluhur semua manusia di bumi saat ini. Agama Abrahamik juga menolak konsep teori evolusi darwin karena mengatakan bahwa manusia berasal dari kera yang mengalami evolusi dan transmutasi genetik.
Konsekuensi dari keyakinan bahwa Adam adalah manusia pertama dan penolakan atas teori evolusi darwin ini menimbulkan satu pertanyaan besar.
“Jika memang benar Adam adalah manusia pertama dan Hawa diciptakan dari tulang rusuknya Adam, kenapa keturunan mereka dapat terpecah kedalam banyak ras-ras yang berbeda? Padahal seharusnya genetik keturunan mereka adalah sama, sehingga otomatis tidak terdapat perbedaan ras manusia”.
Dengan melihat kenyataan ini maka pendukung teori bahwa Adam adalah manusia pertama mau tidak mau harus beradapat pada teori transmutasi genetis yang dapat terjadi pada keturunan adam dan hawa sehingga menghasilkan ras-ras manusia dengan keanekaragaman genetisnya. Hanya saja jika mereka mengakui postulat bahwa keturunan Adam dan Hawa mengalami mutasi genetis, maka akan timbul pertanyaan besar berikutnya.
”Jika transmutasi genetis itu terjadi pada keturunan Adam dan Hawa, tidakkah genetik kera memungkinkan mengalami mutasi sehingga menjadi manusia kera dan berikutnya bermutasi lagi menjadi manusia yang merupakan nenek moyang adam dan hawa?”
Mereka yang meyakini bahwa Adam dan Hawa adalah manusia pertama harus menghadapi pilihan yang sama-sama tidak menyenangkan. Meyakini Adam dan Hawa sebagai manusia pertama dengan konsekuensi harus mendukung transmutasi genetis, yang artinya juga harus mendukung kemungkinan bahwa Adam dan Hawa adalah keturunan dari kera. Dan dengan demikian mereka harus mengakui bahwa leluhur mereka sebenarnya adalah kera. Atau pilihan ke dua mereka harus mengakui bahwa Adam dan Hawa bukanlah manusia pertama, dan mengakui otoritas ajaran Veda yang mengatakan bahwa manusia pertama tidak hanya satu, tetapi banyak. Hanya saja dengan mengakui pernyataan kedua ini, mereka harus mengakui kesalahan satu doktrin dalam ajaran agama mereka, yang implikasinya adalah sangat memungkinkan bahwa doktrin-doktrin yang lain dalam agama mereka juga salah.
Jadi, apakah para kaum agama Abrahamik harus mempertahankan Adam sebagai manusia pertama dengan mengikuti teori evolusi darwin, ataukah harus mengakui bahwa ajaran agama mereka salah? Sama-sama merupakan pilihan yang menyenangkan untuk agama Abrahamik bukan?
Untuk mendukung pembenaran Veda yang mengatakan bahwa manusia pertama tidak hanya satu, tetapi lebih dari satu dan mereka disebut sebagai manu yang pada akhirnya menurunkan banyak ras-ras manusia yang berbeda serta pernyataan Veda yang menyatakan bahwa Tuhan telah menciptakan 8.400.000 jenis kehidupan berbeda yang sudah eksis tanpa proses evolusi sebagaimana dinyatakan dalam teori evolusi darwin, maka saya akan mencoba memaparkan missing link dari teori evolusi darwin tersebut.
Ilmuan-ilmuan pendukung teori evolusi darwin mengatakan bawah kehidupan yang pertama muncul dari “Primordial Soup”,,cairan senyawa kimiawi awal yang terbentuk sesaat setelah dentuman besar (Big Bang). Dari cairan kimiawi awal ini selanjutnya muncul “Primal Organism”, makhluk-makhluk awal sederhana bersel satu, Melalui proses alamiah sela ma berjuta-juta tahun, makhluk-makhluk bersel satu ini secara berangsur- angsur berevolusi menjadi bermacam-macam wujud makhluk hidup yang ada sekarang.
Ernst Haeckel, Professor Zoologi di Jena University Jerman, pada tahun 1867 menggambarkan proses evolusi ini sebagai berikut;
Jadi Haeckle dan ilmuan pendukung teori evolusi mengatakan bahwa mahluk hidup terwujud dari senyawa kimia sederhana dan berangsur-angsur berevolusi menjadi mahluk hidup uniseluler dan berikutnya berevolusi lagi menjadi mahluk hidup multiseluler yang pada akhirnya menghasilkan evolusi terakhir, yaitu manusia.
Dalam bukunya Charles Darwin,” Descent of Man”, dikatakan bahwa manusia berasal dari mahluk berkaki empat, berekor dan berbulu yang biasa hidup di pohon-pohon di hutan. Dengan kata lain, leluhur manusia adalah monyet. Jika benar manusia berevolusi dari monyet, lalu bagaimanakah wujud hasil evolusi dari manusia itu sendiri suatu saat nanti? Pertanyaan sederhana, tetapi sangat rumit untuk bisa di jawab oleh pendukung teori evolusi darwin.
Untuk menentukan kapan makhluk manusia muncul di Bumi, para sarjana (geologi, anthropologi, paleontologi, zoologi, sosiologi, petrologi, dll.) membagi jaman berdasarkan usia strata (tingkat lapisan) tanah sebagaimana disajikan pada halaman berikut. Hanya saja pada kenyataannya, masalah lokasi dan lapisan tanah di mana fossil ditemukan, seringkali menjadi polemik tentang umur fossil.
ERA | PERIODE | MULAI JUTAAN TH. YANG LALU | URAIAN JENIS MAKHLUK |
CENOZOIC MESOZOIK PALEOZOIC | HALOCENE PLEISTOCENE PLIOCENE MIOCENE OLIGOCENE EOCENE PALEOCENE CRETACEONS JURASSIC TRIASSIC PERMIAN CARBONIFEROUS PERMIAN CARBONIFEROUS DEVONIAN SILURIAN ORDOVICIAN CAMBRIAN | 0,1 2,0 5,0 25,0 38,0 55,0 65,0 144,0 213,0 248,0 286,0 360,0 286,0 360,0 408,0 438,0 505,0 590,0 | MANUSIA MODERN (40.000 TH YL – SEKARANG) CRO-MAGNON (100.000 – 40.000 TH.YL) NEANDERTHAL MAN (200.000 – 100.000 TH.YL) HOMO-SAPIEN (500.000 – 200.000 TH.YL) HOMO-EREKTUS (1 JT – 0,5 JT TH YL) HOMO-HABILIS (1,5 JT – 1 JT TH YL) AUSTRALOPITHECUS (3 JT – 1,5 JT TH YL) APIDIUM/PARAPITHECUS/OREOPITHECUS (10 JT TH YL). RAMAPITHECUS (12 JT TH YL) OLIGOPITHECUS/AEOLOPITHECUS/LIMNOPITHE- CUS (18 JT TH. YL) DRYOPITHECUS (20 JT – 15 JT TH YL) PROCONSUL (21 JT – 17 JT YL) PLIOPITHECUS (23 JT – 10 JT TH YL) PROPLIOPITHECUS (25 JT TH YL) AEGYPTOPITHECUS (30 JT – 28 JT TH YL) AMPHIPITHECUS (40 JT TH YL) SMILODECTES (50 JT – 45 JT TH YL) PLESIADAPIS (63 JT – 58 JT TH YL) |
Dengan memperhatikan data diatas, maka menurut para sarjana duniawi, proses evolusi kera menjadi manusia modern sekarang nampak jelas ketika pada tahun 1924 Professor Raymond Dart dari University Of Witwatersrand di Johannesburg mengumumkan penemuan tengkorak makhluk yang dia sebut Australopithecus Africanus dan diperkirakan ber umur 1 jt tahun. Dart yakin bahwa Australopithecus adalah moyang semua makhluk hominid yaitu makhluk berjalan tegak dengan dua kaki dan kemudian menurunkan makhluk manusia sekarang. Dia mendasari pendapatnya dengan alasan-alasan berikut:
a. Kapasitas cranium si bayi Taung (sebutan fossil itu) adalah 500 cc, sementara gorilla dewasa hanya 600 cc.
b. Tidak adanya tulang kening yang menonjol.
c. Giginya menyerupai gigi manusia, dan
d. Terusan tulang belakang terletak ditengah-tengah dasar tengkorak kepala seperti pada manusia.
Beraneka jenis hominid yang hidup sebelum Australopithecus, kata para pemuka teori evolusi, adalah makhluk-makhluk yang tingkat evolusinya belum begitu maju. Sehingga kehidupan mereka masih seperti kehidupan binatang pada umumnya.
Berikut adalah gambar skenario evolusi dari makhluk Australopithecus sampai menjadi manusia modern.
Menurut para sarjana pendekar teori evolusi, Australopithecus adalah manusia purba (early man) hasil evolusi (keturunan) Parapithecus dan berkehidupan amat primitip. Austalopithecus Africanus memanfaatkan batu, kayu dan tulang runcing untuk hidup dengan pencaharian berburu. Sedangkan Austalopithecus Robustus, katanya, adalah makhluk herbivora, pemakan buah dan tumbuhan. Sementara itu, Australopithecus Boisei di Africa Timur yang juga hidup sebagai pemburu, diperkirakan punah karena kalah bersaing melawan Australopithecus Africanus. Fakta ini, katanya, sesuai dengan hukum evolusi “survival of the fittest”. Homo-habilis adalah perkembangan lanjut dari Australopithecus. Fossil rahangnya ditemukan di lembah Olduvai sekitar th. 1932 oleh Louis Leakey bersama perkakas batu dan situs kediamannya. Fossil rahangnya juga ditemukan dekat danau Turkana Kenya di th. 1970 oleh Richard Leakey, putra Louis Leakey.
Kemudian, kata para akhli teori evolusi, Homo-habilis berkembang menjadi Homo-erectus. Ia adalah hominid yang benar-benar berjalan tegak seperti manusia. Pithecanthropus-erectus yang di temukan di Jawa th. 1891 oleh Dubois, Sinanthropus yang ditemukan di goa Zhoukoudien China th. 1927 oleh Black dan juga berbagai fossil hominid yang ditemukan Leakey di lembah Olduvai Africa di tahun 1975, semuanya tergolong Homo-erectus. Diyakini bahwa Homoerectus adalah hominid omnivora dan yang pertama kali menggunakan api untuk memasak makanan. Karena itu, Homo-erectus dikatakan hominid yang mulai berkehidupan beradab sebagai manusia. Perkakas kehidupan mereka masih primitip, tetapi telah lebih baik dan lebih maju dari perkakas yang digunakan oleh Homo habilis.
Perkembangan selanjutnya adalah Homo-erectus berevolusi menjadi Homo sapiens. Fossilnya berupa kerangka dan tengkorak ditemukan th. 1930 – 1971 di berbagai tempat di Eropa. Di Jerman, Homo sapiens dikenal dengann nama Steinhein man. Di Inggris di kenal sebagai Swanscombe man, dan di Perancis dikenal sebagai Tautavel man. Kehidupan Homo-sapiens lebih maju karena ia hidup lebih trampil dan bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan. Ia bisa tinggal di pantai, di pegunungan atau padang rumput, dan menggunakan perkakas secara lebih efisien.
Homo-sapiens kemudian berevolusi menjadi Neanderthal man. Fossil wanitanya ditemukan tahun 1931 di Mt Caramel Israel. Pada tahun 1957 ditemukan kerangka lengkap Neanderthal di goa Shanidar Irak. Pithecanthropus erectus II (Solo-man) yang ditemukan di wilayah Solo pada tahun 1934 oleh Von Koenigswald, ter-golong Neanderthal. Fossil hominid Ehringdorf (Jerman), La Ferrassie (Perancis), Monte Circeo (Italia), Krapina (Yugoslavia), Teshik Tash (Rusia) dan Djebel Irhoud (Maroko) juga tergolong makhluk Neanderthal. Dikatakan oleh para akhli teori evolusi bahwa Neanderthal adalah Hominid yang telah berbudaya. Ia hidup sebagai pemburu dan juga dikenal sebagai tukang cukup akhli. Diperkirakan pula bahwa Neanderthal man telah memiliki rasa ke-agamaan walau masih amat sederhana.
Neanderthal man kemudian punah, kata para pakar teori evolusi, karena telah ber- evolusi menjadi makhluk Cromagnon. Cromagnon adalah nama tempat di Perancis di mana pada th. 1868 para pekerja rel kereta api menemukan empat kerangka hominid beserta perkakas batunya. Dikatakan bahwa makhluk Cromagnon secara pisik sudah mirip sekali dengan manusia modern sekarang. Ia memiliki kecerdasan dan kebudayaan yang lebih maju dari Neanderthal man. Cromagnon adalah manusia pertama menciptakan seni berupa pahatan, lukisan dan ukiran batu. Tetapi Cro-magnon pada umumnya masih menghuni goa dan emperan batu walau pun sudah mampu mem-buat gubuk sederhana. Mereka hidup dalam kelompok yang lebih besar secara menetap.
Manusia modern yang menghuni Bhumi sekarang, kata para pemuka teori evolusi, adalah perkembangan lanjutan dari makhluk Cromagnon sejak 40.000 th yang lalu.
Benarkah skenario sejarah manusia ini?
Ahli Anthropologi, Niles Eldridge berkata “Evolusi adalah benar, sebagaimana kebenaran bahwa bumi adalah bulat”. Namun demikian Veda dengan tegas dan jelas mengatakan bahwa manusia lahir dari manusia lainnya dan mahluk hidup yang lain juga sudah tercipta sebagai mana wujudnya saat ini. Atman diberikan pilihan badan material sebanyak 8.400.000 jenis, mulai dari mahluk paling sederhana yaitu virus, protozoa, sampai pada 400.000 jenis kehidupan humanoid (manusia).
Bertolak dari dua pandangan yang saling tolak belakang ini, mari kita coba menelaah bukti-bukti tentang teori evolusi ini secara lebih mendalam.
Sebagaimana teori umum dalam teori evolusi mengatakan bahwa dalam perkembangan evolusi mahluk hidup akan terjadi bentuk-bentuk transisi. Sebagai contoh dalam kasus binatang air berkembang menjadi binatang darat, maka seharusnya terdapat binatang peralihan dari air ke darat. Namun pada kenyataanya tidak pernah ditemukan fosil-fosil mahluk hidup transisi ini sebagaimana dikatakan oleh Professor Heibert Nilsson dari Lund Universitu di Swedia; “ Bahkan tidak mungkin membuatkan suatu karikatur tentang evolusi berdasarkan fakta-fakta paleo-biologis. Materi fossil-fossil itu begitu tidak lengkap sehingga ketiadaan rangkaian (makhluk-makhluk) transisi tidak bisa dijelaskan oleh jumlah fossil yang tidak lengkap. Tiada nya fossil makhluk-makhluk transisi ini begitu nyata dan mereka tidak akan pernah bisa menemukan”. Bahkan penelitian terakhir mengenai klaim temuan fosil-fosil tertentu ternyata penuh rekayasa yang tidak objektif dari para penganut teori evolusi. Beberapa temuan fosil yang meskipun tidak cukup valid yang dirasa mendukung teori evolusi digembar-gemborkan sebagai penemuan spektakuler, tetapi penemuan fosil-fosil yang tidak mendukung teori evolusi malahan di campakkan begitu saja. Tentunya hal ini sudah melanggar etika ilmiah seorang ilmuan dan dengan demikian teori sang ilmuan bersangkutan tidak bisa di percaya.
Dalam hubungan ini, Vayson De Predenne dari Ecole d’ Anthropologie di Paris menulis dalam bukunya “Fraudes Archeologiques (1925)” sebagai berikut;
“Seringkali orang menemukan sarjana yang dicengkram oleh pre-conceived idea (hipothesis) yang tidak segan-segan memberikan pendapat keliru atas fakta-fakta yang dilihatnya agar sesuai dengan teori yang diyakininya. Bila melihat peninggalan halus dan kasar buatan manusia ditemukan bersamaan di satu lapisan tanah, maka dia menetapkan adanya dua level yaitu : peninggalan kasar berada di level (lapisan tanah) yang lebih rendah digolongkan berdasarkan jenisnya, bukan ber-dasarkan umur lapisan tanah dimana benda itu di-temukan. Dan peninggalan halus yang ada di dasar lapisan tanah itu dinyatakan olehnya sebagai benda yang secara kebetulan masuk kesitu”.
Dalam penemuan-penemuan fosil yang baru dan dengan dikenalnya pengukuran umur fosil berdasarkan kandungan radioaktif karbon 14 yang memungkinkan pengukuran umur fosil secara lebih akurat ternyata menyimpulkan bahwa fosil manusia yang anatominya sama dengan manusia saat ini sudah hidup berdampingan dengan berbagai jenis primata sejak jutaan tahun lalu.
Fosil Australopithecus yang ditemukan oleh Raymond Dart yang diklaim sebagai mahluk hidup transisi dari kera berjalan tegak ke manusia ternyata hanyalah spesies gorila atau sinpanse. Grafton E Smith berkata, dalam kuliahnya di College University, berkata;
“Sayang sekali, Dart tidak banyak tahu tentang tengkorak bayi sipanse, gorilla atau orangutan. Seandainya dia banyak tahu, dia akan menyadari bahwa bentuk, rupa, rahang dan detail wajah dan cranium tengkorak Australopithecus pada dasarnya sama dengan yang dimiliki bayi sipanse atau gorilla”.
Raymond Dart kecewa atas tanggapan demikian terhadap fossilnya. Kemudian kegiatannya mencari fossil diteruskan oleh Dr Robert Broom. Pada tahun 1936 Broom mendapatkan beberapa kepingan tengkorak dari tempat penggalian di Sterkfontein. Dia me-rekonstruksi kepingan- kepingan itu menjadi satu tengkorak dan memberinya nama Plesianthropus Transvaalensis. Lapisan tanah tempat fossil di temukan di perkirakan ber-usia antara 2,2 – 3,0 jt tahun.
Pada tahun 1938 Broom mem-peroleh beberapa biji gigi dari daerah pertanian Kromdraai dan juga beberapa kepingan tengkorak. Dia terus merekonstruksi semua fossil tersebut. Tengkorak yang ter-rekonstruksi itu memiliki gigi dan rahang lebih besar dari yang ditemukan di Sterkfontein. Broom menamainya Paranthropus Robustus. Lapisan tanah Kromdraai tempat fossil ditemukan diperkirakan berumur 1 – 1,2 juta tahun. Di lokasi yang sama itu pula Broom menemukan potongan tulang lengan bagian atas dan bawah. Tentang fossil ini, Broom berkata;
“Seandainya ini semua ditemukan di tempat terpencil, mungkin semua akhli anatomi akan berkata bahwa fossil ini pasti tulang-tulang manusia”
Kemudian pada tahun 1971, H M Mc Henry menyatakan “Fossil ini adalah tulang-tulang manusia”.
Pada tahun 1946 Broom dan Schepers menemukan sepotong tulang paha bagian bawah di Sterkfontein. Menurut mereka, tulang paha ini persis seperti tulang paha manusia. Hal ini dibenarkan oleh pakar pathologi bernama Le Gross Clark. Kemudian di th. 1981, pakar pathologi Christine Tardieu pun membenarkan dengan berkata;
“Ciri-ciri utama tulang paha Sterkfontein ini sama dengan ciri – ciri tulang paha manusia modern”
Setelah perang dunia kedua berakhir, pada tahun 1957 Robert Broom dan J T Robinson menemukan fosil rahang bawah di Swartkrans dalam lapis an tanah yang juga berisi fossil Paranthropus. Broom dan Robinson berkata tentang fossil ini sebagai berikut;
“Bentuknya serupa benar dengan rahang homi nid modern (manusia) dibandingkan dengan rahang Telanthropus Capensis”
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa manusia modern telah hidup berdampingan dengan makhluk Australopithecus dan primata lain pada masa Pleistocene (sekitar 2 jt tahun lalu).
Pada awal tahun 1970 putra Louis Leakey yaitu Richard Leakey yang keduanya pakar Anthropologi memenumkan fossil rahang makhluk yang disebut Homo habilis dekat danau Turkana di Kenya. Disana juga ditemukan fossil-fossil fauna yang serupa dengan yang ditemukan di Kanam. Pada tahun 1972 Richard Leakey kembali menemukan fossil tengkorak pecah dekat danau Turkana dan dikatakan olehnya sebagai tengkorak Homo habilis. Alasannya adalah karena isi craniumnya lebih dari 810 cc, lebih besar dari yang dimiliki Australopithecus. Endapan vulkanik tempat fossil ditemukan berusia sekitar 2,6 juta tahun. Dan fossil tengkorak itu sendiri diperkirakan berusia 2,9 jt tahun.
Didekat lokasi dimana tengkorak Homo habilis ditemukan, John Harris pakar paleontologi dari Museum Nasional Kenya, juga menemukan dua tulang paha yang menyerupai tulang paha manusia modern. Kedua tulang paha ini dikatakan milik Homo habilis. Richard Leakey yang meneliti fossil tersebut berkata;
“Kedua tulang paha ini tidak seperti milik Australopithecus. Namun sungguh mengherankan keduanya sama dengan tulang paha manusia modern”
Melalui artikelnya yang diterbitkan dalam majalah National Geographc, Richard Leakey mengulangi lagi pendapatnya dengan berkata;
“Kedua tulang paha ini hampir tidak bisa dibedakan dari tulang paha manusia”
B. A. Wood, pakar Anatomi pada Charing Cross Hospital Medical School di London, menyatakan bahwa Tulang-tulang paha itu adalah milik manusia modern. Diperkirakan fossil itu berumur 1,5 – 2,0 jt tahun.
Kemudian pada tahun 1974, B. A. Wood kembali menegaskan bahwa fossil tulang tulang kaki yang ditemukan dekat danau Turkana, cocok sekali dengan tulang kaki manusia.
Begitu pula dengan fossil tulang paha yang ditemukan di Koobifora, menurut Edward Trinkhaus dan para pakar lain, secara anatomi bukan milik Homo habilis ataupun Homo erectus, tetapi milik manusia modern.
Fossil tulang kaki cukup lengkap di-temukan di lembah Olduvai dan diperkirakan berumur 1,7 jt tahun. Menurut M H Day dan J R Napier (1964), fossil tulang kaki ini lebih menyerupai tulang kaki manusia. Sedangkan fossil tulang tangan yang ditemukan di tempat yang sama (lembah Olduvai), dikatakan oleh J R Napier (1962) sangat sesuai dengan ciri-ciri tangan manusia, terutama ujung-ujungnya.
Jadi manusia modern sudah hidup berdampingan dengan makhluk-makhluk yang disebut Australopithecus, Homo habilis dan Homo erectus sejak jutaan tahun yang lalu. Ini juga berarti bahwa ke tiga jenis makhluk tersebut bukanlah makhluk peralihan ke manusia.
Java man (manusia jawa) yang disebut Pithecantropus Erectus dan fossil nya di temukan di Trinil Jawa Tengah oleh Eugene Dubois pada tahun 1891, digolongkan oleh para pakar evolusi sebagai makhluk Homo erectus dan diperkirakan berumur 800.000 tahun.
Pada tahun 1894, Dubois melaporkan bahwa Pithecantropus adalah makhluk transisi, yang sesuai dengan teori evolusi, pasti pernah ada dan hidup. Jadi menurut Dubois, Pithecantropus adalah “missing-link” antara kera dan manusia. Menurut Dubois, adalah karena kapasitas craniumnya antara 800 – 1000 cc, sedangkan milik kera rata-rata 500 cc dan manusia rata-rata 1400 cc. Benarkah Pethecantropus adalah makhluk missing-link?
Pakar teori evolusi Ernst Haeckel berkomentar;
“Kini masalah dalam perjuangan keras untuk mencari kebenaran telah secara radikal dirobah dengan penemuan makhluk Pithecantropus oleh Dubois. Dia benar-benar telah memberikan kita tulang-tulang kera yang saya telah bayangkan”
Tetapi sayang, ketika Dubois memamerkan fossilnya dalam The International Congress Of Zoology ke III pada tahun 1895 di Lyden Belanda, ternyata tidak semua sarjana setuju dengan pendapatnya. Beberapa berpendapat bahwa Pithecantropus hanyalah fossil kera. Sedangkan yang lain menentang dengan berkata bahwa tulang pahanya bukan milik makhluk yang sama. Sebab tulang paha itu ditemukan sejauh 15 meter dari tulang tengkorak.
Pada bulan Desember 1895 para ahli dari seluruh dunia berkumpul di gedung Society For Anthropology, Ethnology And Prehistory untuk menetapkan status fossil Pithecantropus kebanggaan Dubois. President Of The Society Dr Virchaw menolak memimpin sidang. Kemudian dalam diskusi yang penuh perdebatan itu, pakar Anatomi Swiss Kollman menyatakan bahwa makhluk Pithecantropus adalah seekor kera.
Dr Virchaw sendiri berkata bahwa tulang pahanya sepenuhnya tulang paha manusia. Namun pada tengkoraknya terdapat sela dalam diantara kubah kepala dan tulang bagian atas lekuk mata. Karena itu, tengkorak Pithecantropus ini adalah tengkorak kera. Sehingga disimpulkan bahwa makhluk ini adalah binatang, seekor gibbon raksasa. Tulang pahanya sama-sekali tidak punya hubungan apapun dengan tengkoraknya.
Kemudian untuk meniadakan keraguan atas fossil Pithecantropus, Professor Lenore Selenka, sekitar tahun 1907 -1908, melakukan penggalian di desa Trinil dengan memperkerjakan 75 orang buruh. Tetapi Selenka hanya menemukan fossil sisa-sisa kehadiran manusia berupa serpihan tulang binatang, arang dan tempat perapian. Kemudian Selenka berkesimpulan bahwa makhluk manusia dan Pithecantropus hidup pada masa yang sama. Sehingga kontroversi atas fossil Pithecantropus tetap tak terselesaikan.
Menjelang akhir hidupnya, Dubois sendiri berkesimpulan bahwa tengkorak Pithecantropus miliknya adalah gibbon besar sejenis kera yang oleh para pakar evolusi dianggap tidak punya hubungan apapun dengan manusia. Namun meski pun statusnya amat lemah sebagai bukti, Pithecantropus telah dengan tegar masuk daftar leluhur manusia. Pendapat Dubois terakhir tidak dihiraukan oleh para pakar teori evolusi.
Pada tahun 1937 Von Koenigswald mendapatkan 30 kepingan fossil tengkorak dari Desa Sangiran yang terletak di Barat Trinil di tepi sungai Bengawan Solo. Kemudian dia merekonstruksi kepingan-kepingan itu menjadi sebuah tengkorak yang disebutnya Pithecantropus (II) Selanjutnya fossil tersebut lebih dikenal sebagai Solo man (manusia Solo). Dubois tidak sependapat dengan Koenigswal (setelah pithecantropusnya sendiri dinyatakan sebagai fossil kera).
Walaupun asal-usulnya tak jelas (karena selama penggalian Koenigswald tinggal di Bandung dan hanya mengandalkan assistennya Atma mengawasi para penggali), namun pada tahun 1938 Franz Weidenreich (supervisor penggalian fossil manusia Beijing di China) memuat artikel dalam majalah NATURE bahwa penemuan baru oleh Koenigswald telah secara pasti membuktikan bahwa Pithecantropus adalah moyang manusia, bukan gibbon sebagaimana di-simpulkan oleh Dubois menjelang akhir hidupnya.
Pada tahun 1941 di Desa Sangiran (dengan cara yang sama) berturut-turut Koenigswald mendapatkan fossil rahang bawah dan beberapa gigi besar. Fossil rahang bawah besarnya 2 kali rahang manusia. Koenigswald menamakan makhluk pemiliknya Meganthropus Paleojavanicus. Sedangkan makhluk pemilik fossil gigi besar disebutnya Giganthropus. Menurut Weidenreich, kedua makhluk (Meganthropus dan Giganthropus) ini adalah moyang manusia. Katanya, dari Giganthropus muncul Meganthropus terus Pithecanthropus dan Homo-sapiens.
Tetapi kebanyakan pakar modern berpendapat Giganthropus adalah sejenis kera yang hidup pada awal dan pertengahan masa Pleistocene ( 2 -1 juta tahun yang lalu). Sedangkan Meganthropus diperkirakan lebih menyeru Java-man (Pithecantropus). Tetapi pada tahun 1973 Teuku Jacob berpendapat bahwa Meganthropus tergolong Australopithecus.
Pada tahun 1927 Davidson Black (Dokter yang beralih professi menjadi Anthropologist) menemukan fossil sebutir gigi hominid di goa Zhoukoudian (sebelumnya telah ditemukan dua gigi oleh Otto Zdansky). Makhluk pemilik fossil tersebut diberi nama Sinanthropus yang oleh para pakar kemudian digolongkan Homo erectus. Namun pada konggres tahunan The American Association Of Anatomist, beberapa pakar mengkritik Davidson Black karena mengusulkan adanya satu jenis makhluk baru (yaitu Sinanthropus) berdasarkan bukti fossil yang amat tidak lengkap, yaitu hanya berupa gigi.
Berdasarkan penelitian selanjutnya (1931), katanya, di ketahui bahwa Sinanthropus telah memanfaatkan api dalam hidupnya dan memiliki perkakas batu dan tulang yang sudah maju. Pada tahun 1934 Franz Weidenreich menyatakan bahwa Sinanthropus adalah makhluk kanibal, sebab kebanyakan tulang yang ditemukan di dalam goa Zhoukoudian adalah pecahan-pecahan tengkorak. Beberapa tengkorak yang relatip utuh bagian bawahnya berongga.
Tetapi dua pakar Anthropologi dari New Mexico University, Lewis R Binford dan Chuan Kun Ho berpendapat bahwa makhluk-makhluk Sinanthropus itu dijadikan mangsa oleh makhluk carnivora yang tinggal di goa itu.
Sedangkan Marcelin Boule, Directur Institute De Palentologie di Paris, berpendapat bahwa Sinanthropus dimangsa oleh sejenis hominid yang lebih kuat dan lebih cerdas.
Menurut dua pakar China Wu Rukang dan Liu Shen Long, Sinanthropus,sesuai dengan pekembangan kapasitas craniumnya, berevolusi menjadi Homo sapiens. Ini disebut “Dating by morphology”, menetapkan usia fossil ber-dasarkan bentuk / besar kepala. Methode ini tidak bisa dipercaya, tetapi diterapkan semata-mata agar teori perkembangan evolusi tetap utuh tak terganggu.
Fossil vertesszollos adalah berupa kepingan tulang kepala yang diketemu mukan di Hungaria. Lapisan tanah dimana fossil di temukan diperkirakan termasuk masa Pleistocene pertengahan (umur sekitar 1 jtuta tahun). Sarjana Anthropologi David Pilbeam menulis (1972);
“Tulang kepala ini tidak menyerupai tulang kepala Homo erectus dan bahkan manusia purba. Melainkan, ia menyerupai tulang kepala manusia modern. Usia fossil ini tidak lah lebih dari 100.000 tahun”
Jadi fossil vertesszollos tidak bisa digolongkan Homo-erectus, tetapi tergolong Homo-sapiens. Ini berarti penggolongan fossil dalam daftar masa evolusi masih menjadi masalah diantara para sarjana Anthropilogi.
Berikut adalah daftar fosil anomalus yang tidak diperhitungkan oleh para pakar evolusi dalam membenarkan teorinya.
Dalam kata sambutannya di depan sidang The American Association For The Advancement Of Science bulan Agustus 1879, O. C. Marsh, Presiden Asosiasi dan salah satu paleontologist USA terkenal, berkata;
“Bukti-bukti (fossil anomalus) yang disajikan oleh Professon J D Whitney dalam karyanya baru-baru ini (Aurif Gravels Of Sierra Nevada) begitu kuat dan methode penelitiannya yang cermat serta bertanggung-jawab begitu di kenal luas, sehingga kesimpulan-kesimpulannya tidak bisa dibantah. Sekarang, fakta-fakta yang ketahuan menunjukkan bahwa lapisan tanah Amerika mengandung sisa-sisa tulang manusia dan hasil karyanya yang setua masa Pliocene Eropa (sekitar 5 juta tahun. Keberadaan manusia pada masa tersier kini nampaknya cukup terbukti”
Pada tahun 1938, Profesor W G Burroughs , Head Of geological Department di Berea College, melaporkan, “Jaman Karbon dikenal sebagai jaman para ampibi ketika semua makhluk bergerak dengan empat kaki yang tidak menyerupai kaki manusia. Tetapi di Rockcastle dan lain-lain tempat di Kentucky, Pensylvania sampai Missouri, ditemukan bekas pijakan kaki makhluk manusia yang berasal dari jaman Karbon”. Laporan Profesor Burroughs ini dibenarkan oleh Dr. C W Gilmore, Curator Of Vertebrate Paleontologi Smithsonian Institution yang ikut meneliti bekas-bekas pijakan kaki itu. Jaman Karbon bermula 360 juta tahun SM.
Burroghs menjelaskan lebih lanjut,”Setiap jejak pijakan memiliki 5 jari dan jelas melengkung, Jari-jarinya berjejer seperti jari-jari kaki manusia yang tidak pernah pakai sepatu”. Burroughs berkesimpulan bahwa bekas pijakan kaki ini pada mulanya tercetak dipasir lembut dan basah, lalu mengeras menjadi batu sekitar 300 juta tahun yang lalu. Para peneliti lainpun membenarkan ke simpulannya ini.
Pada tahun 1983, Moscow News melaporkan secara singkat penemuan bekas pijakan kaki manusia di Turkmenistan. Pijakan kaki ini tercetak di batu karang berusia 150 juta tahun. disamping bekas pijakan kaki binatang purba Dinosaurus.
Pada tahun 1979, pakar Anthropologi Mary Leakey menemukan bekas-bekas pijakan kaki di Laetoli, 45 km diselatan lembah Olduvai Tanzania. Bekas pijakan kaki itu tercetak di lapisan tanah abu gunung berapi dan diperkirakan berusia antara 3,6 – 3,8 juta tahun. Dalam artikel yang dimuat pada National Geography, Mary Leakey mengutip pendapat Louise Robins, pakar jejak kaki dari North Caroline University, yang berkata;
“Bekas-bekas pijakan kaki ini terlihat serupa benar dengan pijakan kaki manusia modern …”
Hal ini secara langsung menunjukkan bahwa makhluk manusia seperti sekarang sudah ada dan hidup di Bumi 3,6 juta tahun yang lalu.
M H Day meneliti bekas pijakan kaki Laetoli itu dengan menggunakan photogrammetic dan menyimpulkan, “Kemiripan yang secara anatomis amat dekat dengan bekas pijakan kaki manusia modern”. R H Tuttle, pakar Anthropologi pisik menyatakan, “Bentuk pijakan ini tidak bisa dibedakan dari pijakan kaki manusia modern yang sedang melangkah tanpa sepatu”. Tim White berkata, “Jangan salah terka terhadap bekas pijakan kaki ini. Ia serupa dengan bekas pijakan kaki manusia modern”.
Jadi dari penjelasan singkat mengenai penemuan-penemuan arkeologi dan kejanggalan teori evolusi darwin sudah dapat memberikan kita gambaran akan lemahnya teori evolusi darwin. Dengan kenyataan ini saat ini ilmuan dalam bilang antropologi khususnya terpecah menjadi dua kubu, yaitu kubu yang menentang teori evolusi dan kubu yang percaya akan evolusi darwin. Mereka yang yakin pada teori evolusi darwin rata-rata adalah mereka yang Atheis.
Bagaimana halnya dengan transmutasi genetik, tidakkah hal tersebut dalam membuat perubahan somatis pada mahluk keturunannya? Radiasi yang merubah susunan kromosom memang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan genetis yang dapat menurun ke keturunannya. Tetapi, penelitian menunjukkan bahwa kerusakan kromosom akibat radiasi acak/random ini meskipun menguntungkan untuk manusia yang akan memanfaatkan mahluk transgenik ini, namun tidak pernah membuat mahluk hidup bersangkutan menjadi lebih baik, tetapi malahan membuat mahluk bersangkutan menjadi lebih buruk. Sapi gigantisme, semangka tanpa biji, padi berumur pendek, ternak gemuk berumur pendek adalah salah satu hasil rekayasa genetika dengan teknik radisi. Sapi gigantisme pada akhirnya tidak bisa melalui sleksi alam, tidak mampu berkembang biak dan keturunannya terputus. Demikian juga semangka tanpa biji akhirnya tidak dapat melanjutkan keturunan karena ketiadaan biji. Dan sejauh penelitian transmutasi genetik dengan radisasi, belum ada yang membuktikan bahwa dengan meradiasi suatu spesies akan menghasilkan spesies yang lain, tetapi hanya dapat mengubah sebagian kecil karakter mahluk bersangkutan.
Apalagi dalam penemuan fossil terdapat missing link yang tidak pernah dapat membuktikan terjadi mutasi genetis yang memicu terjadinya evolusi ala darwin. Namun sungguh ironis memang, meskipun Darwin sendiri dalam bukunya “The Origin Of Species”, menuliskan keraguannya terhadap teori evolusi, tetapi para pendukungnya tetap bersikukuh dengan berbagai cara mempertahankan teori ini;
“Jumlah fossil makhluk-makhluk peralihan/transisi yang dahulu pernah hidup di Bumi, pastilah banyak sekali. Tetapi kenapa tidak setiap lapisan dan formasi tanah penuh dengan fossil makhluk-makhluk peralihan seperti itu? …. Barangkali kenyataan inilah yang akan menjadi dasar penolakan paling jelas dan keras terhadap teoriku”
Mungkinkah teori evolusi ini hanyalah sebagai pelarian atas ketidakpercayaan para ilmuan akan agama yang dianutnya yang notabena adalah agama-agama dogmatis yang menyatakan adam adalah manusia pertama dan hawa diciptakan dari tulang rusuk adam? Ataukah karena paham Atheis yang dianut para pendukung teori evolusi darwin?
Veda menjelaskan bahwa mahluk hidup sudah tercipta dalam 8.400.000 jenis badan yang berbeda. Golongan humanoid yang terdapat di alam semesta ini saja berjumlah 400.000 yang semuanya berasal dari manu, ciptaan dewa Brahma. Kata Manu ini menjadi “Man (Bahasa Inggris)” dan Manusia (Bahasa Indonesia). Manusia berasal dari urat kata “Manu” dan “Sah” yang diartikan “dia yang berasal dari manu”. Jadi jika anda menganggap diri anda manusia, maka anda harus mengakui bahwa leluhur anda adalah manu.
Dengan demikian, masihkan anda bersikeras bahwa nenek moyang anda adalah Adam?
Sumber:
1. The Hidden History Of The Human Race (Major Scientific Cover Up Exposed) by Michael A Cremo and Richard L
Thompson. Published by Bhaktivedanta Book Publishing Inc. 3764 Watseka Avenue, 2001.
2. ORIGIN, Higher Dimensions In Science, published by Bhaktivedanta Book Trust 1984.
3. Srimad Bhagavatam,,published by Bhaktivedanta Book Trust 1985.
4. Forbiddn Archeology’s Impact by Michael A Cremo. Publihed by Bhakti vedanta Publishing Book 1998.
5. Mechanistik And Non Mechanistic Science (An Investigation Into the Nature Of Consciousness And Form) by
Richard L Thompson, dan published by Bala Books 1981.
6. Early Man (Manusia Purba) by F Clark Howell. Terjemahan diterbitkan oleh Pustaka Alam 1977.
7. Antropologi By William A Haviland. Terjemahan oleh R.G.Soekardijo. Penerbit Erlangga 1999.